OLEH: Amran SN
Sebelum adat bersandi syarak, syharak bersandi kitabullah, semboyan yang pertama hadir adalah.. Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat, yang embrionya diprakarsai oleh Syekh Burhanuddin, yaitu seorang ulama Minangkabau yang mengembangkan Islam di Ulakan (sekitar abad ke 17 M). Inspirasi ini diterimanya ketika ia berguru dan belajar pada Syekh Abdur Rauf as-Singkel di Aceh. Seperti diketahui bahwa Minangkabau memang telah cukup lama memeluk Islam, bahkan ada catatan sejarah yang menyebutkan negeri ini memeluk Islam pada awal Islam tersebut
dikembangkan oleh pedagang Arab yang singgah di negeri ini (abad ke 7 M).
Akan tetapi dalam kenyataan baru tahun 1560 M ada raja Minangkabau yang memeluk Islam, yang sekaligus memakai nama Sultan Alif. Maka kita dapat membuat benang merah bahwa rakyat Minangkabau lebih dulu menganut Islam dari rajanya sendiri.
Tambo alam Minangkabau menghikayatkan bahwa sebelum adanya kerajaan
Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman, masyarakat Minangkabau telah
dipimpin oleh dua bersaudara (berlainan bapak), yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Masing-masing mereka
dalam mengatur pemerintahan; Datuk Ketumanggungan dengan sistem Koto
Piliang, dan Datuk Perpatih nan Sebatang memakai sistem Bodi Caniago.
Dua sistem tersebut populer disebut Lareh nan Duo.
Kedua kelarasan ini melahirkan aturan-aturan Adat yang kemudian menjadi
pandangan hidup mereka, yang didasarkan pada ketentuan nyata yang
terdapat dalam alam pikiran yang tertuang dalam filosofi Alam takambang
jadi guru. Sejalan dengan filsafat tersebut maka Adat Minangkabau dengan
segala sistem dan struktur masyarakatnya telah ada sebelum Islam masuk.
Dan bagi orang Minangkabau, Adat adalah merupakan kebudayaan secara
utuh, akan dapat berubah-ubah seperti filosofi yang mereka anut
tersebut.
Digambarkan Adat Minangkabau sebelum Islamisasi telah terjalin hubungan
erat antara lembaga keagamaan (surau) dengan kerajaan Pagaruyung
sebagai pusat kekuasaan. Jalinan ini tampak dipertegas dengan didirikan
surau besar di zaman Adityawarman tahun 1356 M, di kawasan Bukit Gombak.
Surau besar yang didirikan oleh Adityawarman tersebut, adalah tempat
mempelajari agama Hindu-Budha, yang saat itu menjadi agama sebagian
besar masyarakat Minangkabau. Pula, surau selain menjadi tempat
mempelajari agama tapi juga merupakan asrama bagi anak-anak muda. Di
sini mereka melaksanakan pertemuan untuk membicarakan Adat. Kita
mengenal akan pepatah syarak mangato, adat mamakai, maksudnya
syarak memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Sehingga agama dan adat
menjadi identitas orang Minangkabau. Aiblah bagi orang Minangkabau bila
ia tidak beragama.
Syekh Burhanuddin, kembali dari Aceh segera menyebarkan agama Islam
dengan gencar, walaupun menurut catatan sejarah orang Minangkabau telah
di-Islamkan oleh para pedagang Arab. Akan tetapi Syekh Burhanuddin
adalah ulama pertama yang mengembangkan agama Islam dengan sistem
pendidikan surau
Sebagai ulama besar yang giat menyebarkan Islam dengan sistem
pendidikan surau itu, bukanlah berarti Syekh Burhanuddin tidak mendapat
tantangan dari pihak lain di Minangkabau, khususnya dari kaum Adat yang
merasa keberadaan mereka merasa tergusur. Namun berkat kejelian dan
bantuan dari saudara-saudara seperguruannya, Syekh Burhanuddin
“kecurigaan” dari kaum Adat tersebut dapat dinetralisir. Syekh
Burhanuddin bersama keempat temannya segera mendatangi Basa Ampek Balai, yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam tampuk pemerintahan di Minangkabau.
Dari pertemuan Syekh Burhanuddin dan empat orang temannya yang mewakili
pihak ulama dengan Basa Ampek Balai di Bukit Marapalam- Puncak Pato-
terciptalah kesepakatan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat. Dengan inspirasi inilah kemudian pada zaman Paderi kembali dikukuhkan kesepakatan tersebut (1837).
Kesepakatan Bukit Marapalam ini disebutkan oleh sebagian cerdik pandai dan pemuka masyarakat Minangkabau sebagai Marapekan alam.
Marapek alam itu berarti “mempertemukan pikiran masing-masing yang
berbeda” Namun kesepakatan tersebut masih menyisakan tanda tanya bagi
sebagian besar orang Minangkabau dan para ahli, kapan sebenarnya
berlangsungnya pertemuan. Dan apa landasan pikir dan latar belakangnya,
sehingga disebut sebagai filosofi, tidak banyak orang yang tahu. Bung
Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar
(1970) mengemukakan bahwa ungkapan itu tidak pernah didengarnya waktu
kecil, yang didengarnya adalah ; Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat.
Lantas bagaimana menyikapi apa yang disampaikan oleh Bung Hatta dengan
peristiwa Sumpah Sati Bukit Marapalam, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak
basandi Kitabullah?
Merujuk apa yang telah dilakukan sebelumnya oleh Syekh Burhanuddin dan
keempat temannya, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat, seperti
yang diungkapkan oleh Bung Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan
Minangkabau di Batusangkar itu, merupakan penjelasan dan pengulangan
dari upaya Syekh Burhanuddin, menyatukan antara agama dan adat. Yang
pada kurun waktu itu mengurangi konflik dengan kaum adat, terutama
konflik dengan kekuasaan di Pagaruyung. Bagindo M.Letter salah seorang
ulama Sumatra Barat kelahiran Pariaman memberi komentar,”Persenyawaan
adat dan syarak yang dirintis oleh oleh Syekh Burhanddin Ulakan , adalah
buah karya besar, yang tidak ternilai harganya bagi kehidupan sosial
dan budaya orang Minangkabau.”
Kilas balik dari upaya Syekh Burhanuddin tersebut, dapatlah digambarkan
bahwa setelah 10 tahun mengajar di Ulakan, ia mengadakan evaluasi
menyangkut perkembangan perguruan dan umat Islam di Minangkabau, serta
bagaimana sikap kaum adat atau para penghulu dalam menerima ajaran
Islam. Setelah diadakan pertemuan di surau Tanjung Medan, Syekh
Burhanuddin tahun 1079 H pada bulan Syafar (1659 M). Memang setiap bulan
Syafar, Syekh Burhanuddin bersama temannya yang sama-sama belajar di
Aceh dulu, yang kemudian membantu mengajar di Ulakan senantiasa
melakukan pertemuan. Dalam pertemuan tahunan tersebut senantiasa
dibicarakan adat dan syarak, yang kebiasaan ini pun diikuti oleh
perguruan masing-masing, yang kemudian menjadi tradisi pada masa ini.
Dan secara kebetulan wafatnya Syekh Burhanuddin bertepatan dengan bulan
Syafar tahun 1111 H, maka disepakati pula pada bulan Syafar dilaksanakan
acara ziarah ke makam guru – pada bulan terang atau purnama- Pertemuan
tahun 1079 H/1659 M ini melahirkan dua rekomondasi penting :
Pertama
: untuk mempercepat perpaduan antara adat dan agama, maka diperlukan
dukungan lebih besar dari para penghulu yang berkedudukan di wilayah Darek. Kedua :
dengan lambatnya pengembangan Islam di Luhak nan Tigo (pusat alam
Minangkabau), karena dalam pengembangannya pemuka-pemuka agama mendapat
tantangan dari kalang adat, disebabkan oleh ; pengaruh dari agama Budha
yang masih berbekas bagi masyarakat pedalaman. Sementara itu para
penghulu (kaum adat) masih kukuh memegang kebiasaan-kebiasaan jahiliyah,
seperti menyabung ayam dan minum tuak, bermain dadu, dan perbuatan
maksiat lainnya. Dan di kawasan Luhak 50 Kota, asal mulanya masuk Islam,
pernah terjadi pertentangan antara paham Sunni dan Syiah.
Dengan pertentangan paham keagamaan tersebut, maka kekuasaan di Minangkabau, dipecah dalam tiga bentuk, yaitu ; Raja Adat di Lintau Buo, Raja Ibadat di Sumpur Kudus, Raja Alam di Pagaruyung. Ketiganya disebut Rajo Tigo Selo. Walaupun demikian ketiganya merupakan simbol belaka. Sedangkan kekuasaan pemerintahan dilaksanakan oleh Basa Ampek Balai.
Mereka adalah Datuk Bandaro menjabat menteri utama dan menteri
keuangan, yang berkedudukan di Sungai Tarab. Tuan Indomo menteri urusan
Adat yang berkedudukan di Suruaso. Berikutnya, Tuan Mangkudum sebagai
pengatur wlayah kerajaan urusan rantau, bermarkas di Sumanik. Sedangkan
Tuan Qadi sebagai menteri agama yang berkedudukan di Padang Ganting.
Perangkat ini pun ditambah dengan Tuan Gadang di Batipuh sebagai menteri
pertahanan dan keamanan. Kalau ditilik maka Tuan Mangkudum yang
menjabat sebagai menteri urusan rantau, maka kekuasaannya lebih besar,
karena segala ajaran yang masuk ke Minangkabau dialah yang menentukan.
Fenomena
pergolakan dan pergerakan kehidupan keagamaan sejak awal priode di
Minangkabau sampai berakhirnya gerakan Paderi dan munculnya “Kaum Tua”
dan “Kaum Muda” dengan para pelaku ulama dan penghulu-penghulu
terkemuka di Luhak nan Tigo. Maka dilaksanakan kesepakatan Bukit
Mapapalam, di mana pemilihan ini pada tempat ketinggian di puncak Pato,
yang terletak di antara desa Sungayang dan Bukik Bulek. Dan sejak
dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalam oleh pemuka Adat dan Ulama di
Minangkabau, maka dilakukanlah penyebaran kesepakatan oleh kedua belah
pihak. Wujud kongkrit dari perjanjian ini dituang dalam filsafat adat,
yaitu :
Adat
basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato-Adat mamakai.
Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syarak jo adat bak aua
jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo. Dalam
penjelasannya, maka Adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam,
dan agama berdasarkan kitabullah atau al-Quran. Agama memberikan fatwa,
adat melaksanakannya. Adat yang baik adalah sesuai dengan normanorma
Islam – harus dipertahankan – Sementara itu adat yang buruk, yang
bertentangan dengan Islam harus dibuang. Antara syarak dan adat tidak
dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.
Ada beberapa untai benang merah yang perlu dibicarakan dalam hubungan antara Minangkabau dengan ungkapan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah. Pertama,
Adat lebih dahulu hadir dari pada syarak yang Islam di tengah-tengah
msyarakat Minangkabau. Seperti dikenal secara umum sejarah Minangkabau
yang tidak memiliki media tulis, tidak meninggalkan jejak sejarah
kecuali mitologi dan Tambo. Peninggalan sejarah yang ditemukan, tidak
mencerminkan kenyataan kedekatan Minangkabau dengan agama Hindu. Namun
satu-satunya kerajaan yang berdiri dimasa kejayaan Hindu adalah kerajaan
Pagaruyung dengan rajanya Adityawarman. Masuknya Islam ke Minangkabau
ini berhadapan langsung dengan masyarakat yang telah mengenal konsep
Tuhan yang disebut dengan “Nan Bana”, yang berdiri dengan sendirinya,
yang kemudian diungkapan dalam mamangan :
Kamanakan barajo ka mamak
mamak barajo ka pangulu.
Pangulu barajo ka mufakat.
Mufakat barajo ka nan Bana
Nan Bana badiri sandirinyo.
Kemudian syarak (Islam) datang dari luar diungkapkan dengan pasti dalam mamangan; Syarak mangato-Adat mamakai. Artinya
syarak datang dari luar (laut) yang terus mendaki sampai ke tanah asal
(Luhak nan Tigo), berikutnya ajaran adat menurut dari tanah asal ke
rantau dan pesisir.
Kedua,
baik adat maupun syarak adalah mengandung nilai-nilai yang mengatur
hidup manusia. Pengaturan adat lebih bersifat duniawi, dalam pada itu
nilai-nilai syarak mengatur secara seimbang antara hidup keduniaan dan
keakhiratan. Maka dengan demikian ajaran Islam yang bersumber dari Allah
dan Rasul diakui lebih sempurna dibanding adat. Pengertiannya, syarak
menyempurnakan adat. (Syarak mangato-adat mamakai). Antara yang
menyempurnakan dan yang disempurnakan tidak boleh bertentangan. Begitu
pula antara nan mangato dan memakai.
Ketiga,
syarak bersifat pasti, jelas dan tegas. Sementara itu nilai dalam adat
lebih bersifat relatif dan terbuka untuk berimprovisasi;
Syarak batilanjang
Adat basitumpu
Adat babuhua sentak
Syarak babhua mati
Adat tunduk pada hukum perubahan, sedangkan syarak mengendalikan perubahan;
Adat dipakai baru
baju dipakai usang
Sakali aia gadang
sakali tapian baraliah
Benang merah yang terakhir adalah ungkapan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah,
mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa perbedaan yang tidak
menyebutkan pertentangan antara nilai yang ada dalam adat dengan nilai
yang dikandung syarak. Ketundukan adat kepada syarak masih terus
berproses sesuai dengan kodrat adat yang tunduk pada hukum perubahan.
Berdasarkan kesadaran demikian dapat ditarik kesimpulan ; masyarakat
Minangkabau sejak dulu selalu bergerak maju menuju masyarakat Islam,
sehingga upaya pencarian jati diri Minagkabau harus lebih mengacu kepada
nilai dan ajaran Islam. ***
ENTRI LAINNYA:
- KOROUPSI.., MENGERIKAN.!!
- Sebuah Iklan Sesat di Rencana Kenaikan BBM
- TdS 2014 Diharapkan Lebih Hebat.
- Mungkinkah Keberanian SBY Depak PKS?
- Kemaren Jokowi Jadi Tuan Rumah di Kediaman Megawat...
- Jokowi Akui Tak Dapat Amanah Capres dari Taufiq Ki...
- Pemukul Pramugari Dapat Jaminan Pemprov Babel
- Film Jokowi dan Elegi Penulis Novel
- Inilah 7 Pasangan Calon Wako-Wawako Yang Lolos Ver...
- Rachmawati Soekarnoputri: Taufiq Kiemas Pribadi ya...
- Ruhut: Bang Taufiq Sahabat dan Guru Politik Saya
- jenazah taufiq keimas di shalatkan di halim.
- wapres batal tutup TDS.
- Pebalap Iran Masih Mendominasi
- Karena Tak Ada Ampang, Kereta Api Tabrak Mobil Unt...
- Kekuasaan dan Korupsi
- Rombongan "tour de singkarak", di sambut antusias ...
- Orang Filipina Kagumi Beruk Piaman (Sebelum berkun...
- LENYAPKAH KKN SETELAH WALIKOTA BARU DI LANTIK DI K...
- Yang terdidik merasa Tak terdidik.
- Masih Terjajah
- SEJARAH MINANGKABAU AWAL (bagian: 3)
- SEJARAH MINANGKABAU AWAL (bagian: 2)
- SEJARAH MINANGKABAU AWAL (bagian: 1)
- PESTA LAYANG-LAYANG YANG MEMBAHANA DI TUJUAH KOTO,...
- Lahirnya Komunitas Ciloteh Piaman (KCP), Sebuah Re...
- Pancasilamu Hanya di Buku, Tuan...
- Senandung Century Dibalik Jeruji Besi Antasari
- PASAR PAKANDANGAN SEMAKIN RAMAI, PEDAGANG LAMA TER...