oleh: arman samudra
Sebagai orang minang yang hidup diperantauan saya sering ditanya masalah “uang jemputan” ini padahal saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti mengenai masalah ini karena saya dibesarkan di perantauan...
Sebagai orang minang yang hidup diperantauan saya sering ditanya masalah “uang jemputan” ini padahal saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti mengenai masalah ini karena saya dibesarkan di perantauan...
Umumnya masyarakat yang
awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara Uang Jemputan
dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti tentang
masalah ini.
Pada awalnya uang
jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan,
Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau
garis keturunan ayah atau patriachat.
Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu :
- yang satu gelar dari ayah
- yang satu lagi gelar dari mamak,
hanya saja gelar dari
Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat
kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman,
yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar).
Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro
dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya
Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan
Piliang) .
Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu?
· Gelar
Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi atau
bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di
Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu - Rantau ba
Rajo, seperti :
- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman,
- Rajo Rangkayo Basa 2×11 6 Lingkuang di Pakandangan,
- Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu,
- Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam,
- Rajo Tiku di Tiku dll
· Gelar
Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi
Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman
& Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan
Iskandar Muda.
· Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman
Pemakaian gelar tunggal
ini langsung diikuti dengan nama-nama, misalnya Sutan Arman Bahar atau
Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar. Sedangkan gelar dari Mamak
yang bukan gelar Datuak akan ditaruh dibelakang nama, seperti : Sutan
Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak lazim dipakai di Pariaman kecuali
gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin Bandaro ada juga terpakai
Banyak adat Minangkabau
yang dipegang teguh di di Pariaman seperti diantaranya “rumah gadang
ka-tirisan (rumah besar yang bocor), gadih gadang indak balaki (gadis
yang sudah cukup umur tetapi belum nikah) dan maik tabujua ditangah
rumah (mayat terbujur di tengah rumah)”. Indak kayu janjang dikapiang.
indak ameh bungkah di-asah, maka yang sering menonjol di Pariaman adalah
“Gadih Gadang Indak Balaki”. Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman
sangat concern untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Saking
pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak
balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring
meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan
tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium
dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya
pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun
nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.
Dari sinilah munculnya
Uang Hilang yang dalam prakteknya sama dijalankan dengan uang jemputan.
Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan
kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan
acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk
pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan
oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya kepada keluarga
Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin
pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau
Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang
diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut
menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri.
Karena dalam prakteknya
uang hilang dan uang jemputan dilakukan sejalan/bersamaan, maka yang ke
sohor adalah UANG JEMPUTAN. Padahal yang dipermasalahkan dan keberatan
pihak keluarga pengantian wanita adalah munculnya UANG HILANG atau UANG
DAPUR.
Uang Jemputan ini
sebenarnya adalah uang kontribusi dan uang distribusi. Artinya bagi yang
menerima uang jemputan semestinya ia harus mengembalikan kepada pihak
pengantin wanita/anak daro. Sementara UANG HILANG atau UANG DAPUR
merupakan uang kompensasi sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.
Semuanya jika tidak ada
permusyawarahan antara para ninik mamak dan kesepakatan diantara dua
keluarga. Keboleh jadian bahwa perkawinan tidak akan berlangsung bila
pihak keluarga wanita tidak menyetujui.
Kesimpulannya uang
jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban
dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam
bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara
Manjalan Karumah Mintuo
Soal ada yang menyatakan
pemberian uang jemputan berasal tradisi ini berasal India, sebenarnya
tidak demikian. Pernyataan ini sangat meragukan karena tidak ada jejak
sejarah yang tersebut bahwa bangsa India mendiami pesisir pantai
Pariaman dan Tiku. Kita tahu bahwa bangsa India pun beraneka suku
seperti : orang-orang Hindustan, atau orang Keling. Yang pernah ada di
Pariaman adalah orang Benggala alias Orang Keling karena terdapat jejak
peninggalan mereka dalam wujud Kampuang Kaliang disamping itu ada pula
Kampuang Cino. Walaupun sudah tidak adalagi orang Chinanya, karena takut
sesudah peristiwa huru hara di Kampuang Cino kota Pariaman zaman
doeloe. Selain itu ada pula Kampuang Jao walau tidak adalagi orang
Jawa-nya disana. Hal yang wajar bila ada kekhawatiran kaum ibu orang
Pariaman, jika anak lelakinya yang diharapkan akan menjadi tulang
punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah lupa dengan NASIB DAN
PARASAIAN ibu dan adik-adiknya. Banyak kasus yang terdengar walau tidak
tercatat ketika telah menjadi orang Sumando dikeluarga isterinya telah
lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua dan saudara kandungnya.
Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati rezeki yang diperoleh anak
lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di Pariaman keberatan melepas
anak lelakinya segera menikah. Dikawatirkan bila anak lelakinya itu
cepat menikah, maka pupus harapannya menikmati hasil jerih payahnya
dalam membesarkan anak lelakinya itu. Lagi pula para kaum ibu itupun
sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang sudah menikah, akan
beralih kepada isteri dan anaknya.
Ketika datang desakan dari
pihak gadis dan tiap sebentar datang mendesak sesuai tradisi yang
berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi begitu
berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak dikatakan
merongrong dari berbagai fihak keluarga gadis yang ingin bemenantukan
anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga menginginkan anak
gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan perawan tua bagi
seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang mempunyai anak bujang
yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan meneriman tawaran
menggiurkan berupa UANG HILANG atau apapun istilahnya dari fihak
keluarga gadis.
Sebagaimana telah
diuraikan terdahulu, ketika orang yang datang mendesak, maka ketika itu
sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat
permintaan - terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat
bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter,
saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula lagi
Keluarga mana yang tidak
ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan calon suami yang keren
& mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi “indak ameh bungkah
di-asah, indak kayu janjang dikapiang” asal anak gadisnya mendapatkan
anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis tentunya akan senang
bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang gajinya besar itu
Disini kita lihat betapa
pedulinya Para Mamak orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam
rangka menghindari Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua.
Mohon maaf kalau tidak sepenuhnya benar,
Wassalam
Arman Samudra-57
diedit dari milist RantauNet tanggal 7 April 2009, oleh Hifni H. Nizhamul
(arman samudera: sumber= http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/uang-jemputan-dalam-adat-pariaman-29911.html)
(arman samudera: sumber= http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/uang-jemputan-dalam-adat-pariaman-29911.html)