Latest News

SITI MANGGOPOH: pahlawan minang yang terlupakan.


 Siti Manggopoh, hikayat singa betina dari Ranah Minang

Ini kisah dari Minangkabau. Tentang perempuan cantik yang memimpin Perang Belasting seabad silam. Perang ini membuat Belanda kalang kabut; 53 dari 55 tentara Belanda yang bermarkas di Nagari Manggopoh meregang nyawa. Setelah ditikam, para tentara itu disembelih. Bukan legenda, ini kisah nyata!

Namanya memang tak seharum R.A Kartini. Namun, perjuangannya melawan Belanda sangat fenomenal. Kecantikannya berhasil memperdaya tentara Belanda. Lekuk tubuhnya membuat musuh lengah. Senyumnya yang dikulum membuat batang leher para meneer dari Negeri Kincir Angin itu naik turun.

Seratus kilo meter dari Kota Padang dan enam puluh kilo meter dari Bukittinggi terdapat sebuah nagari bernama Manggopoh. Dari sinilah cerita berasal.
Nagari di Utara Pariaman dan Selatan Pasaman ini merupakan nagari tertua di Luhak Agam dibanding Nagari Bawan, Nagari Tiku dan Nagari Garagahan.

Nagari nan subur itu memanjang 25 km dari Utara ke Selatan dan melebar 11 km dari Barat ke Timur. Sebelah Timur berbatasan dengan Lubuk Basung, Barat dengan Tiku, Utara dengan Bawan, Selatan dengan Garagahan.

Manggopoh dengan Bawan dibatasi Sungai Masang Kanan. Setidaknya 13 sungai besar dan kecil mengalirinya. Antara lain Sungai Pingai, Sungai Anak Air Jambu, Sungai Kakalutan, Sungai Antokan, Sungai Masang Kiri, Sungai Masang Kanan, dan sungai lainnya yang tidak bernama.

Penduduk Manggopoh terbilang plural. Ada yang berasal dari Pesisir, Pariaman, Pasaman, Padang Panjang, Sasak, Bonjol, Aceh, Padang Darek, Maninjau, Padang, dan orang-orang di sekitar Luhak Agam.
Dalam keberagaman itu, rakyatnya tetap berpedoman pada adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Kini, secara administrasi, Manggopoh masuk Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam.

Di nagari yang mayoritas rakyatnya bertani dan berkebun inilah, pada bulai Mei 1880 lahir seorang bayi yang kelak menjelma menjadi seorang perempuan tangguh. Mak Kipap dan Sutan Tariak, memberi anak perempuan satu-satunya itu nama Siti. Dia bungsu dari enam bersaudara.

Di Minang, anak perempuan merupakan harta paling berharga. Satu keluarga akan selalu merasa miskin bila tak punya anak perempuan. Tak ayal jika Siti kecil disayangi oleh orang tua, para ninik manak dan lima kakak laki-lakinya.

Kakak-kakaknya kerap membawa serta Siti kemana pun mereka pergi. Entah itu bermain di sungai, mengaji, bapasambahan dan basilek (bersilat--pen). Tiga yang terakhir merupakan aib bila tidak dipelajari.
Orang Minang harus pandai mengaji, bapasambahan dan basilek. Berbekal ketiganya orang akan lihai basilek lidah, basilek kapalo, basilek badan.

Tuan dan Nyonya bisa jadi bertanya-tanya, apa itu bapasambahan? Bapasambahan semacam sastra pitutur beberapa tingkat di atas pantun. Semacam ilmu tata cara berbicara indah.
Berontak
21 Februari 1908, Belanda menerapkan kebijakan hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat huizen belasting (pajak rumah adat).

Pihak Belanda mengumpulkan Manti, Dubalang, Kepala Nagari dan Penghulu, guna menyosialisasikan kebijakan baru tersebut. 1 Maret di tahun itu, kebijakan belasting mulai diberlakukan.

Penindasan pun melahirkan konsekuensi perlawanan. Nagari Air Bangis, Nagari Painan, Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan.
Luhak Agam tidak memenuhi undangan Kepala Laras dalam sosialisasi. Ada juga yang unjuk rasa ke kantor Asisten Residen di Bukittinggi. Blanko pembayaran belasting yang diserahkan dirobek rakyat.

Maret 1908 sepasukan kavaleri Belanda masuk Manggopoh. Setelah keliling kampung, mereka bergerak menuju Ketinggian, wilayah antara Bukit Bunian Berpuncak Tujuh. Jaraknya dua kilo meter dari Pasar Manggopoh.
Belanda mendirikan markas dengan menempatkan 55 orang pasukan di sini. Hal ini tak lain untuk melancarkan kebijakan belasting.

Dasar mental penjajah, para meneer itu mulai semena-mena. Mereka berbuat sesuka hati, termasuk memperkosa perempuan.

Rombongan 17
Siti bergidik. Didampingi sang suami Rasyid Bagindo Magek, dia mendatangi Mak Luma (ninik mamak), Haji Abdul Gafar (Rajo Sipatokah), Haji Abdul Manan, ulama yang banyak pengikutnya guna meminta pendapat.
Perang direstui. Sejumlah senjata berupa keris, ruduih dan ladiang disiapkan. Ruduih dan ladiang sejenis golok.

Selanjutnya Siti melakukan pengorganisiran dan berhasil membentuk Rombongan 17. Pertemuan pertama dilangsungkan di Surau Kampung Parit (kini Masjid Pahlawan).
Hadir di situ Pak Cik Tuanku Padang, Majo Ali, Dullah Sutan Marajo, Rahman Sidi Rajo, Tabuh Mangkuto Sutan, Dukap Marah Sulaeman, Muhammad Bagindo Sutan, Tabad Sutan Saidi, Kalik Bagindo Marah, Unik, Sain Sidi Malin, Kana, Dullah Pakiah, Nak Abas Bagindo Bandaro, Sumun Sidi Marah, Rasyid Bagindo Magek dan Siti sendiri.

Di surau yang berjarak beberapa ratus meter dari benteng Belanda siasat diatur. Siti menyusup sebagai wanita penggoda ke benteng Belanda guna menghitung kekuatan lawan. Kendati sudah beranak dua, siti tetap cantik dan bahenol.

Selain di surau itu Rombongan 17 bermarkas di Padang Mardani. Bila malam tiba mereka latihan basilek dan merumuskan strategi.
Malam di Padang Mardani berkabut sehingga jarak pandang dekat. Lokasi itu dikenal sangat angker. Separuh lapangan Padang Mardani area kuburan rakyat yang diselingi pohon-pohon besar.

Sore hari orang sudah tak berani lewat sana. Belanda saja ketakutan. Rombongan Belanda pernah lari pontang-panting ketika melihat benda aneh warna putih bergelayutan dan terbang dari satu pohon ke pohon lain.
Padahal ini ulah anggota Rombongan 17 yang usil. Lokasi tersebut sengaja dikesankan angker agar gerakan mereka tak tercium siapa pun.

Pertemuan selalu rahasia. Tak ada yang tahu. Tiap berangkat, kepada anak istri dan handai taulan mereka mengaku pergi mengaji. Nah, jika Siti bertugas menyusup ke kandang lawan, Majo Ali ditugaskan ke Nagari Kamang menemui pimpinan gerakan rakyat di sana.

“Jumlah mereka 55 orang. Di sana ada 55 pucuk senjata api,” Siti membeberkan keadaan yang dibacanya. Kemudian dengan detail dia menggambarkan denah markas.

Sabulek jantuang bakulepak. Sabanyak nan sayang sabanyak nan banci. Pepatah itu benar adanya. Entah siapa yang berkhianat, tanggal 14 Juni 1908, rumah Dullah digerebek. Di sana ditemukan tombak dan keris. Karena Dullah tak ada di rumah, Lipah, istrinya dibawa Belanda.

Lalu Belanda ke rumah Majo Ali. Majo Ali juga tak di rumah. Dia sedang membangun front di Kamang. Akibatnya adik perempuannya Ipah dibawa Belanda.

Setelah itu giliran rumah Siti yang disatroni. Si cerdik Siti mengawasi Belanda yang mengobrak-abrik rumahnya dari kejauhan. Dia tertawa geli melihat Belanda kebingungan tanpa hasil, hanya saja dia tak tega melihat dua perempuan yang diseret-seret tentara ke Lubuk Basung.

Malam harinya, rombongan berkumpul di Padang Mardani minus Ali yang masih berada di Kamang dan Pak Cik Tuanku Padang sedang membesuk anaknya yang sakit di Padang Kota.
Dullah yang datang terlambat langsung memberi kabar, “Rencana kita tercium. Ada yang berkhianat. Kita-kita orang diburu Belanda. Mereka menjanjikan imbalan kepada siapa saja yang menangkap dan menyerahkan kita,” papar Dullah. Informasi itu didapat di warung sate miliknya.

15 Juni 1908, Perang Kamang meletus. Ali dan Rasyid ikut dalam perang basosoh tersebut. Oleh rakyat Kamang, Ali dijuluki Putra Manggopoh Aceh Pidi. Barangkali karena dia sangat berani seperti rakyat Aceh melawan Belanda.

Keesokan harinya, sekitar pukul 16.00, Rasyid Bagindo Magek dan Ali datang ke Manggopoh. Kerisnya berlumuran darah kering. “Kita perang sekarang!” seru Ali.

Semua hening. Sejurus kemudian, Siti maju tiga langkah dan berkata, “kenapa semua terdiam. Ini waktunya! Yang mau ikut maju ke depan!”

Rasyid menimpali. Dia maju ke depan seraya mengacungkan keris ke langit. Yang lain serentak mengikuti.
Di tengah semangat perang yang berkobar-kobar itu, Rombongan 17 bersumpah di atas Al Quran. “Allahu akbar. Setapak tak akan mundur. Biar mati berkalang tanah daripada hidup terjajah. Siapa mungkir janji dikutuk kalamullah. Allahu akbar.”

Pak Cik Tuanku Padang tak hadir. Dia masih di Padang. Nak Abas Bagindo Bandaro dan Sumun Sidi Marah juga tak ada. Tak ada yang tahu kemana dua anggota Rombongan 17 yang paling muda itu.

Usai itu, Rasyid mengangkat sumpah sendirian. “Seandainya kita tertangkap hidup-hidup biarlah saya seorang yang menjalankan hukumannya. Walau dihukum gantung.”

Strategi penyerangan disusun. Rasyid ahli dalam hal ini. Dia membagi rombongan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, beranggotakan Siti, Rasyid, Ali dan Dullah. Ali bertugas memasuki benteng Belanda dan mematikan semua lampu. Yang lain membayangi Ali.
Kelompok kedua terdiri dari 10 orang sisanya. Mereka bertugas menjaga dan mengawasi tiap-tiap jendela dan pintu. Jangan sampai ada Belanda yang lolos.

Bergerak dalam kelam

Adzan maghrib berkumandang ketika rombogan sampai di Kampung Koto. Mereka solat berjamaah. Usai sholat ada salah seorang dari mereka mengabarkan rakyat di Sago, Padang Tongga, Batu Rubiah, Kampung Pinang, Garagahan, Tengkong-Tengkong, Muara Putus juga siap bertempur.

Dalam perjalanan ke benteng Belanda, atas usulan Siti, rombongan singgah di Masjid Parit. Di sana ada Pusaro Limo, makam leluhur yang dikeramatkan. Lagi-lagi atas arahan Siti, rombongan mengelilingi Pusaro tersebut tujuh kali.

Rahman Sidi Rajo yang punya ilmu garak menancapkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya ke tanah.
“Ayo cabut! Siapa yang ragu-ragu akan mudah mencabut kayu ini. Yang berhasil mencabutnya pulang saja ke rumah. Tak usah ikut…” katanya. Ternyata tak satupun dari mereka yang berhasil mencabut kayu tersebut. Artinya tekad sudah bulat.

Ba’da isya sebelum berangkat rombongan kembali mengangkat sumpah. “Setapak tak akan mundur. Selangkah tak akan kembali. Siapa berpaling, siapa kafir, siapa mungkir, dihukum kutuk kalamullah…”

Pukul 20.30 rombongan tiba di Kampung Parit. Tempat ini strategis untuk berlindung dan mengatur siasat selanjutnya. Tiga orang diutus ke benteng berpura-pura jadi penjual buah manggis untuk memeriksa keadaan. Lalu disusul seorang kurir untuk memastikan.

Pukul 22.00 benteng dikepung rapat selama satu setengah jam. Tak tercium seangin pun oleh Belanda. Menjelang pukul 00.00, kelompok pertama mendekati benteng. Ali mematikan lampu. Semua padam, kecuali kamar Letnan.

Ketika Ali masuk kamar tersebut, Letnan terbangun dan langsung menyerang Ali. Leher Ali dicekek sampai matanya mendelik. Siti langsung bergerak. Dia memukul bahu Letnan dengan punggung ruduih.
Letnan berbalik menyerang Siti. Dalam beberapa gerakan Letnan berhasil menjambak rambut Siti dan mengalungkannya ke leher.

Ketika hendak menariknya ke tempat tidur, Siti dengan cekatan menyambar lampu dengan senjatanya sehingga padam. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan. Ruduih Siti bersarang di perut Letnan yang terkapar tak bernyawa.

Pembantaian dimulai. Semua bergerak dalam kegelapan. Rombongan 17 memang terlatih untuk ini. Mereka biasa latihan berselimutkan kabut malam di Padang Mardani. Satu persatu Belanda tewas. Setelah ditikam mereka disembelih.

Tiba-tiba suasana hening. Pertanda tak ada lagi pembantaian. “Sudah beres! Ayo kita tinggalkan tempat ini…” ajak seseorang.

Ketika hendak turun meninggalkan benteng tiba-tiba terdengar suara tembakan. Siti terkena di bagian punggung. Rasyid di bagian selangkangan. Mereka kocar-kacir terpisah menyelamatkan diri masing-masing.

Rupanya hanya 53 yang mati. Dua tentara yang selamat mengadu ke Lubuk Basung. Keesokan harinya didatangkan tentara dari Pariaman dan Bukttinggi untuk memburu rombongan 17. Mayat yang berserakan di benteng diangkut pakai 18 buah pedati bw warna merah ke Lubuk Basung.

Perburuan

Kabar pemberontakan di Manggopoh sampai ke kuping Pak Cik Tuanku Padang. Dia segera balik ke Manggopoh dan menemui Nak Abas Bagindo Bandaro dan Sumun Sidi Marah.
Ketiganya langsung menyambangi rumah Anduang Piak Iyeh di Sungai Janiah. Di sana jumpa dengan Kana dan Unik.

Sore itu pecah lagi bertempuran melawan pasukan Belanda yang baru didatangkan dari luar Manggopoh. Perang ini dipimpin Tuanku Pak Cik Padang. Walaupun hanya berempat, Belanda dibuat sangat kewalahan.
Mereka rupanya punya ilmu kebal senapan. Belanda dipukul mundur hingga sembunyi di dalam benteng.

Sekitar pukul 20.00 empat orang itu tewas tertembak di gerbang benteng. Entah kenapa, hanya saja berdasarkan cerita yang beredar, lagi-lagi ada yang berkhianat membocorkan rahasia kelemahan ilmu kebal mereka ke pihak Belanda hanya gara-gara imbalan yang tak sebanding dengan penderitaan rakyat. Dasar mental anjing! Dikasih tulang langsung jinak!

Beberapa hari kemudian Dullah dan Ali tertangkap saat bersembunyi di pondokan sawah. Mereka ditembak. Konon, dua penembak yang terkena muncratan darah mereka langsung tewas seketika.

Lalu bagaimana dengan kisah Siti dan Rasjid yang kena luka tembak?

Tahun 1963, panitia peringatan Hari Kartini di Kota Padang mengundang Mande Siti untuk bercerita. Saat itu umurnya 78 tahun. Dia sudah rabun. Namun, sepuh itu tak pikun. Dia mengurai detail saat-saat setelah penyerbuan benteng Belanda.

“Dalam keadaan terluka saya langsung pulang ke rumah orang tua. Kedua anak, saya titipkan di sana. Dalima yang masih bayi langsung saya susui. Si Yaman, anak laki-laki saya langsung merebahkan kepalanya di paha saya. Dia minta dibelai,” kenangnya.

Lalu datang seorang nelayan yang mengaku bernama Saibun. Dia mengaku diminta Rasyid untuk menjemput. Siti membawa Dalima. Mereka naik perahu ke sebuah tempat di mana Rasyid sedang menunggu.

“Dalam keadaan diburu tak baik berlama-lama di sebuah tempat. Kami memutuskan berjalan kemana pun tanpa tujuan, yang penting selamat,” urai Mande Siti di hadapan hadirin peringatan Hari Kartini.
Penuturan Mande Siti ini dikutip beberapa surat kabar saat itu. Ada juga yang menuliskannya hanya untuk sekadar dokumentasi.

Perjalanan terhenti ketika mereka jumpa seorang peladang tua. Pak Tua itu baik sekali. Selain tumpangan untuk sembunyi, dia memberi makan dan minum untuk Siti, Rasyid dan Dalima. Tidak hanya itu, Pak Tua juga mengobati luka tembak Siti dan Rasyid.

“Dari Pak Tua itu kami mendapat cerita bahwa kami berdua orang yang paling dicari. Karena tak jua ditemukan Belanda murka dan Manggopoh dibumihanguskan. Rakyat tak bersalah ditangkapi, disiksa dan dibunuh. Tak tega melihat rakyat Manggopoh menderita, kami memutuskan keluar dari persembunyian. Menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi rakyat yang disakiti.”

Persidangan Mande Siti

Abel Tasman, Nita Indrawati dan Sastri Yunizarti Bakry, jurnalis yang melakukan penelitian tentang Perang Belasting dalam buku yang mereka beri judul Siti Manggopoh meriwayatkan, tanggal 17 Juni 1908, Kontroler Asisten Demang memanggil Penghulu Nagari Manggopoh, Malin Datuak Rajo Bandaro untuk disidangkan.

Sidang dihadiri Datuak Majo (Penghulu Kepala Nagari Lubuk Basung), Datuak Rangkayo Basa (Penghulu Kepala Nagari Bawan), Datuak Magek (Penghulu Kepala Nagari Koto Alam), Datuak Bandorajo Nan Celek (Penghulu Kepala Nagari Tapian Kandih), Datuak Majo Indo (Penghulu Kepala Nagari Limpato), Datuak Majo Lelo (Penghulu Kepala Nagari Tiagan).

Persidangan menuding Datuak Rajo Bandaro memimpin pemberontakan Manggopoh. Dia ditahan dan posisinya digantikan oleh Syarih gelar Haji Buang. Sidang kemudian menyepakati enam Penghulu Kepala Nagari yang hadir bersama-sama dengan serdadu Belanda memburu Rombongan 17.

Tanggal 18 Juni 1908, tulis buku itu, perburuan tiga jalur dimulai. Jalur pertama: Padang Kalam, Muara Anak Air Palangkitangan, Taruang-Taruang. Jalur kedua: Sago, Padang Mardani, Batang Masang Kiri, Gunung Antokan. Jalur ketiga: Rimba Kurao, Gunung Antokan, Anak Air, Simpang Tiagan.

Perburuan tak maksimal. Apalagi Siti dan Rasyid belum juga tertangkap. Inilah yang membuat Belanda naik pitam dan membumihanguskan Nagari Manggopoh.
***

“Bersama Rasyid, saya keluar setelah 17 hari di persembunyian. Kami berjalan menuju Bawan. Dalima saya gendong. Hari itu lengang. Entah kenapa orang-orang kampung langsung masuk rumah dan menutup pintu saat kami lewat. Mereka ketakutan,” tutur Mande Siti.

Mereka terus berjalan menyusuri kampung. Tiba-tiba seorang pemuda menghampiri. “Masih ingat saya Pak Rasyid? Saya Djumis, murid mengaji dan basilek Anda. Ayo singgah ke rumah,” ajak pemuda itu dengan sopan.

“Kenapa orang-orang kampung ketakutan melihat kami? Kenapa kau sendiri yang berani menegor dan mempersilahkan kami mampir,” tanya Siti setelah menyeruput teh panas yang disuguhkan si empunya rumah.

“Bagindo Rasyid ini kan guru saya. Lagian kenapa harus takut. Saya justru bangga rumah ini disinggahi orang pemberani yang membantai kafir Belanda…”

Djumis berangkat menemui Wali Nagari Bawan setelah Siti mengurai soal penyerahan diri. Wali Nagari Bawan menghubungi pihak Belanda dan mendatangi rumah Djumis bersama sejumlah opas.
Begitu opas hendak memborgol kedua buruan nomor wahid itu, Wali Nagari Bawan mencegahnya. Siti lantas meludahi wajah opas itu diiiringi sumpah serapah. Ini baru Singa Betina, kawan…

Pukul dua belas siang, mereka dibawa ke Lubuk Basung dengan pengawal dalam jumlah besar menghadap kontroler. Di sana sudah menunggu para pemuka adat termasuk ayah dan ibu Situ serta Yaman.

“Perempuan cantik ini rupanya yang memimpin perang belasting. Kenapa kau tidak mengurus anak saja?” ketus kontroler. Siti bergeming. Matanya menatap jijik.

“Benar kamu yang memimpin perang belasting di Manggopoh?”

“Iya.”

“Apakah kamu menyesal?”

“Ya. Saya sangat menyesal karena tidak semua tentara Belanda di benteng Manggopoh dibantai. Saya menyesal karena hanya 53 yang terbunuh. Saya menyesal karena ada dua orang yang lolos dan mengadu kepada kalian sehingga Nagari kami diporak-poranda!” tandas Siti. Matanya tajam.

“Kau tidak takut dihukum gantung?”

“Tidak!”

“Benar kau kena tembak?”

“Ya.”

“Di bagian mana?”

“Di punggung.”

“Coba saya mau lihat…” tutur kontroler. Seketika itu juga dua orang meneer mendekati Siti dan hendak membuka bajunya. Siti terkesiap. Dia meludahi wajah keduanya seraya mengumbar sumpah serapah.

Singkat cerita, Siti ditahan di penjara Lubuk Basuk selama 14 bulan. Lalu dipindah ke penjara Pariaman selama 16 bulan. Setelah itu dipindah ke penjara Padang selama 12 bulan dan kemudian dibebaskan.

Siti bukannya senang dibebaskan. Pasalnya Rasyid sang suami tercinta di buang ke Manado. Baginya, dipisahkan dengan suami adalah hukuman yang sangat berat. Dia minta serta dibuang ke Manado, tapi pinta tak berkabul.

Siti kini telah tiada. Dia meninggal di usia 80 tahun. Berbeda dengan Kartini yang mendapat gelar Pahlawan Nasional hanya gara-gara surat-suratnya diterbitkan menjadi buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda yang menjadi sahabat penanya.

Siti tak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Hanya saja kisahnya menjadi buah bibir turun temurun. Orang Minang menyebutnya Siti Manggopoh!
***

Catatan: Kisah ini saya dulang dari sejumlah orang ketika menyambangi Ranah Minang, tempo hari. Lalu, tak sengaja ketika main ke LSM Limbubu Pariaman sehari sebelum balik ke Ibukota saya mendapati buku berjudul Siti Manggopoh di perpustakaan.
Literatur nih! Buku yang ditulis oleh Abel Tasman, Nita Indrawati, dan Sastri Yunizarti Bakry itu tentu sangat mempengaruhi tulisan ini.
Kisah nyata yang ditulis semi cerpen ini pernah dimuat di beberapa media massa. Demi sejarah dan ilmu pengetahun, tulisan ini kembali disajikan. (boy paskand  dari berbagai sumber)

SAKATO NET Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.